OPINI | Perseteruan Menteri Negara BUMN dan belakangan ikut pula Mahmud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya tidak menjadi ajang untuk memperlambat kemajuan Indonesia.
Khabarnya, setiap proyek pembangunan yang harus cepat diselesaikan harus menyetorkan upeti kepada anggota desan agar anggarannya tidak dilambatkan dalam menyelesaikan proyek rakyat tersebut. Kalau ini benar, sama saja rakyat yang paling diuntungkan oleh proyek pembangunan infrastruktur maupun kemajuan lainnya menjadi sangat dirugikan. Untuk menjadi negara maju saja ko harus bayar upeti ke DPR. Bukankah DPR itu sendiri merupakan perwakilan rakyat. Tidak seharusnya perwakilan menghambat kemajuan orang yang diwakilinya.
Tidak diketahui percis bagaimana isu upeti ini berkembang. Apakah memang benar DPR meminta upeti kepada pemerintah bila ingin menyelesaikan sebuah pembangunan. Harus diteliti dengan benar karena bisa saja ada pihak yang mengatasnamakan DPR untuk memeras pemerintah. Dan bisa pula ada pihak di dalam pemerintah yang menguras anggaran negara dengan berdalih ingin disetorkan kepada DPR.
Elemen-elemen itu harus diselidiki, karena kasus seperti ini sering kali terjadi. Hal itu sebenarnya sudah jamak terjadi. Biasanya itu didahului oleh kebiasaan yang terjadi dalam instansi tersebut. Seperti halnya dalam pengurusan sesuatu di kelurahan. Calo biasanya meminta uang sogokan kepada masyarakat, katanya, untuk dipercepat dan pihak kelurahan mau menandatangani.
Itu bisa saja terjadi. Tapi seringkali muncul beberapa individu di kelurahan yang masih fresh, penugasan baru atau masih PNS muda. Dia tidak ingin disogok atau disuap. Baginya menandatangai sebuah doumen asal sudah legkap persyaratannya akan dilakukannya. Tapi pihak calo yang sudah mempunyai kebiasaan mendapatkan fee tetap saja meminta suap kepada masyarakat tersebut.
Masyarakat yang tidak tahu menahu dengan perubahan di lingkaran dalam kelurahan, melihat ini sebuah kebiasaan, dan tidak tahu pejabat kelurahan setempat sudah berganti dengan yang anti suap. Alhasil semua uang sogokan itu dimakan oleh calo tersebut. Walaupun calo tersebut bisa saja orang luar maupun orang dalam sendiri.
Kalau dilihat kasus seperti ini, menggeneralisir semua pejabat kelurahan meminta uang suap menjadi salah kaprah. Karena ada beberapa yang mersa tidak menerimanya, bahkan ogah menerimanya. Akan tetapi masyarakat pun tidak tahu dan tidak mempunyai akses untuk mengetahui pakag pejabat tersebut memang menyuruh atau tidak dalam kasus suap tersebut.
Lingkaran setan ini harus diputus, tanpa merusak pihak yang dituduh tapi tidak benar. Calo atau pihak yang bertanggung jawab memeras pemerintah atau menipu DPR itu harus dicari. Apalagi kalau pihak yang terlibat tersebut berasal dari salah satu atau dari dua pihak yang bertikai tersebut. Mereka harus dicari agar pihak yang tidak terlibat tidak ikut menanggung malu atau dipermalukan.
No comments:
Post a Comment