BLOG | Walaupun tidak mengambil pinjaman atau hutang, Indonesia terpaksa harus membayar commitment fee kepada lembaga keuangan JICA punya Jepang karena proyek MRT terbengkalai (Sumber lihat di sini). Ini harus menjadi pelajaran bagi Indonesia agar tidak mudah berhutang kepada negara lain bila proyek tidak seratus persen akan direalisasikan.
Selain itu, pemerintah juga harus mempunyai kapasitas untuk menyediakan alternatif lain jika dilihat denda yang dibuat JICA itu dianggap memberatkan. Kalau perlu lembaga seperti JICA yang tidak mempunyai iktikad baik dan terus main ancam dengan denda harus diblack list dan tidak perlu lagi mengambil hutang dari lembaga tersebut.
Seperti diketahui perekonomian dunia sedang mengalami krisis, dan lembaga-lembaga penghutang dunia berlomba untuk mengucurkan hutang dengan bunga rendah. Indonesia menjadi tujuan utama karena ekonomi Indonesi tumbuh pesat. Artinya mereka tidak akan mau memberikan hutang kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi. Dalam maksud lain, JICA juga diuntungkan bila Indonesia berhutang ke lembaga tersebut, sehingga denda tersebut terlihat tidak relevan.
Indonesia harus kreatif melihat sumber pendanaan lainnya. Negara-negara di Timur Tengah juga mempunyai lembaga dalam bentuk pinjaman. Qatar sendiri pernah mengusulkan pembentukan development fund di Indonesia, namun sampai saat ini tidak terealisir. (Sumber)
Belum lagi Kuwait, UAE dan Arab Saudi.
Namun di balik itu semua, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, pembangunan MRT, Monorail dan Jembatan Selat Sunda (JSS) seharusnya tidak didanai dengan hutang. Semua proyek itu harus didanai dengan investasi dari luar negeri. Kalau hutang, resiko investor asing menjadi nol, karena harus dilunasi beserta bunga dengan pasti. Sementara investasi bernuansa kreativitas.
Kalau investasi tidak ada, tidak masalah sebenarnya kalau 50 persen pendanaan itu diambil dari Surat Utang Negara (SUN) yang dijual di dalam negeri. Coba lihat animo masyarakat memberi sukuk dan SUN. Sampai ada yang tidak kebagian. Masyarakat berlomba lomba untuk menginvestasikan duitnya untuk negara.
Memang sih diakui, dan sudah menjadi rahasia umum, bila Indonesia mengambil hutang ke lembagahutang luar negeri, beberapa oknum di Indonesia akan kejipratan berkah dengan sogokan dan suap sebagai uang terima kasih atas kebijakan yang diambil. Tapi harus diingat, kebiasaan ini harus diputus. Oknum-oknum tersebut tidak seharusnya berpesta pora di atas keterbelakangan pembangunan di Indonesia yang masih akut.
Selain itu, pemerintah juga harus mempunyai kapasitas untuk menyediakan alternatif lain jika dilihat denda yang dibuat JICA itu dianggap memberatkan. Kalau perlu lembaga seperti JICA yang tidak mempunyai iktikad baik dan terus main ancam dengan denda harus diblack list dan tidak perlu lagi mengambil hutang dari lembaga tersebut.
Seperti diketahui perekonomian dunia sedang mengalami krisis, dan lembaga-lembaga penghutang dunia berlomba untuk mengucurkan hutang dengan bunga rendah. Indonesia menjadi tujuan utama karena ekonomi Indonesi tumbuh pesat. Artinya mereka tidak akan mau memberikan hutang kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi. Dalam maksud lain, JICA juga diuntungkan bila Indonesia berhutang ke lembaga tersebut, sehingga denda tersebut terlihat tidak relevan.
Indonesia harus kreatif melihat sumber pendanaan lainnya. Negara-negara di Timur Tengah juga mempunyai lembaga dalam bentuk pinjaman. Qatar sendiri pernah mengusulkan pembentukan development fund di Indonesia, namun sampai saat ini tidak terealisir. (Sumber)
Qatar Holding, a subsidiary of the gas-rich Gulf state’s sovereign wealth fund, has set up a $1bn fund to target investment opportunities in Indonesia.
The fund, to be named QH Indonesia, will be based in Jakarta “will identify and evaluate investment opportunities in Indonesia specifically,” the company said in a statement.
The $1bn fund will mainly target commodities and natural resources, it added.
Qatar Holding is a wholly-owned subsidiary of Qatar Investment Authority, the country’s sovereign wealth fund. Its asset portfolio includes stakes in Barclays Bank, Canary Wharf Group, J Sainsbury plc and the London Stock Exchange.
Belum lagi Kuwait, UAE dan Arab Saudi.
Namun di balik itu semua, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, pembangunan MRT, Monorail dan Jembatan Selat Sunda (JSS) seharusnya tidak didanai dengan hutang. Semua proyek itu harus didanai dengan investasi dari luar negeri. Kalau hutang, resiko investor asing menjadi nol, karena harus dilunasi beserta bunga dengan pasti. Sementara investasi bernuansa kreativitas.
Kalau investasi tidak ada, tidak masalah sebenarnya kalau 50 persen pendanaan itu diambil dari Surat Utang Negara (SUN) yang dijual di dalam negeri. Coba lihat animo masyarakat memberi sukuk dan SUN. Sampai ada yang tidak kebagian. Masyarakat berlomba lomba untuk menginvestasikan duitnya untuk negara.
Memang sih diakui, dan sudah menjadi rahasia umum, bila Indonesia mengambil hutang ke lembagahutang luar negeri, beberapa oknum di Indonesia akan kejipratan berkah dengan sogokan dan suap sebagai uang terima kasih atas kebijakan yang diambil. Tapi harus diingat, kebiasaan ini harus diputus. Oknum-oknum tersebut tidak seharusnya berpesta pora di atas keterbelakangan pembangunan di Indonesia yang masih akut.
No comments:
Post a Comment