MONOPOLI penyiaran di Indonesia saat ini sudah sampai ke tahap yang mengkhawatirkan. Televisi-televisi di Indonesia sudah begitu vulgar untuk menyerang lawan politik pemilik media tersebut. Bahkan pemilihan pengamat dan komentator juga itu-itu saja, mereka yang sudah diset mempunyai arus pemikiran yang sama.
Sebuah tulisan di bawah ini membahas tuntas masalah tersebut.
Selanjutnya
Sebuah tulisan di bawah ini membahas tuntas masalah tersebut.
Pengamat media dari Universitas Gadjah Mada Amir Effendi Siregar berpendapat, monopoli bersifat kuantitatif dan kualitatif. Jadi, menguasai frekuensi penyiaran sudah termasuk kategori monopoli. "Monopoli dalam dunia penyiaran tidak bisa disamakan dengan industri sepatu," katanya.
Pendapat Amir diamini Paulus Widiyanto. Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran ini, monopoli bisnis penyiaran tak beda dengan monopoli dagang semen. Bahkan, kata dia, efeknya jauh lebih besar karena, "Monopoli penyiaran itu bisa sampai memonopoli otak dan pikiran manusia."
Mengacu pada penjelasan kedua tokoh tersebut, menurut Eko Maryadi, keputusan KPPU dalam kasus akuisisi Indosiar hanya berpatokan pada sifat kuantitatif monopoli. Keputusan dibuat hanya dengan mempertimbangkan nilai omset dan aset gabungan dua perusahaan yang dianggap tidak melanggar batas minimal sesuai UU 5/1999. Palu langsung diketok tanpa memperhatikan aturan lain yang lebih spesifik, yakni UU Penyiaran. Padahal UU ini jelas mengatur prinsip pengalihan, akuisisi dan transaksi jual beli lembaga penyiaran.
Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran menyatakan, kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau badan hukum di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal Pasal 34 ayat 4 menegaskan, izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindah-tangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat mana pun.
Selanjutnya
No comments:
Post a Comment