ROKET terbaru Jepang Epsilon gagal meluncur Selasa (27/6) akibat masalah teknis. Peluncuran digagalkan pada detik ke-19 sebelum peerhitungan mundur berakhir di pusat peluncuran ruang angkasa Uchinouradi, dilaporkan VOA.
Roket tingkat tiga ini membawa teleskop antariksa SPRINT-A. Kegagalan ini memukul usaha Jepang untuk membangun roket murah dan efisien untuk bersaing dengan negara-negara kompetitor.
Dengan panjang 24,4 meter dan berat setengah dari roket H2A, sekitar 100.31 ton, roket ini dapat dioperasikan dari komputer desktop dan mudah dirakit. Peluncuran roket ini disiarkan langsung melalui internet.
"Ini menjadi penerbangan pertama dan sebelumnya sudah pernah dibatalkan, dan sekarang dibatalkan lagi," kata Yukihiro Kumagai, seorang analis dari Jefferies & Co securities di Tokyo, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (27/8).
Jepang berambisi memasuki persaingan bisnis yang beromset miliaran dolar ini. Amerika Serikat masih memimpin dalam peluncuran satelit komersil, diikuti roket Eropa Arianespace, yang tahun lalu meraup keuntungan US$1,3 miliar. Posisi Rusia juga masih kuat.
India, China, Ukraina dan Brazil juga mulai masuk ke sektor komersil. Banyak negara sudah mampu meluncurkan roket pembawa satelit namun masih untuk kepentingan sendiri, seperti Israel, Korea Utara, Korea Selatan dan Iran.
Pasar peluncuran satelit baru-baru ini juga diramaikan pihak swasta, SpaceX, yang mempunyai roket grasshopper yang dapat mendarat kembali ke landasan, Vertical Takeoff Vertical Landing (VTVL), usai meluncurkan satelit. Ini membuat peluncuran roket semakin murah. Perusahaan ini juga mempunyai saingan dari Blue Origin, Virgin Galactic, Sierra Nevada's Space Systems, Boeing, Stratolaunch Systems, Planetary Resources, Bigelow Aerospace, OTRAG, Burraq Space Agency yang berpusat di Abu Dhabi (burraqspace.com) dan lain-lain.
Untuk mengejar ketertinggalan, banyak negara saat ini mendorong masyarakat dan LSM untuk terlibat dalam industri ini. Hal ini mendorong lahirnya lembaga seperti The Lebanese Rocket Society, tim-tim relawan yang dibentuk Tunisan Space Agency (TSA), Buraq Society di Pakistan, Mars One, Mars Society, Space Tourism Society-Malaysia Chapter (STS-MC) dan lain-lain.
Di Indonesia, liberalisasi industri antariksa sudah dimulai diterapkan sejak Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan) berhasil mendorong terbentuknya Undang-Undang Tentang Keantariksaan No. 21 Tahun 2013.
"Saat ini, Lapan menjadi regulator dalam pelaksanaan seluruh kegiatan keantariksaan nasional. Selain melaksanakan tugas penelitian dan pengembangan di bidang kedirgantaraan, Lapan juga menjadi lembaga pemberi izin terhadap kegiatan keantariksaan," jelas Kepala Lapan, Bambang S. Tejasukmana sebagaimana dituliskan dalam situs lapan.go.id.
Diharapkan setelah peraturan turunanya selesai digodok, bangsa Indonesia akan dapat ikut serta menikmati pasar industri antariksa yang terus berkembang.
Sumber: Jurnas
Roket tingkat tiga ini membawa teleskop antariksa SPRINT-A. Kegagalan ini memukul usaha Jepang untuk membangun roket murah dan efisien untuk bersaing dengan negara-negara kompetitor.
Dengan panjang 24,4 meter dan berat setengah dari roket H2A, sekitar 100.31 ton, roket ini dapat dioperasikan dari komputer desktop dan mudah dirakit. Peluncuran roket ini disiarkan langsung melalui internet.
"Ini menjadi penerbangan pertama dan sebelumnya sudah pernah dibatalkan, dan sekarang dibatalkan lagi," kata Yukihiro Kumagai, seorang analis dari Jefferies & Co securities di Tokyo, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (27/8).
Jepang berambisi memasuki persaingan bisnis yang beromset miliaran dolar ini. Amerika Serikat masih memimpin dalam peluncuran satelit komersil, diikuti roket Eropa Arianespace, yang tahun lalu meraup keuntungan US$1,3 miliar. Posisi Rusia juga masih kuat.
India, China, Ukraina dan Brazil juga mulai masuk ke sektor komersil. Banyak negara sudah mampu meluncurkan roket pembawa satelit namun masih untuk kepentingan sendiri, seperti Israel, Korea Utara, Korea Selatan dan Iran.
Pasar peluncuran satelit baru-baru ini juga diramaikan pihak swasta, SpaceX, yang mempunyai roket grasshopper yang dapat mendarat kembali ke landasan, Vertical Takeoff Vertical Landing (VTVL), usai meluncurkan satelit. Ini membuat peluncuran roket semakin murah. Perusahaan ini juga mempunyai saingan dari Blue Origin, Virgin Galactic, Sierra Nevada's Space Systems, Boeing, Stratolaunch Systems, Planetary Resources, Bigelow Aerospace, OTRAG, Burraq Space Agency yang berpusat di Abu Dhabi (burraqspace.com) dan lain-lain.
Untuk mengejar ketertinggalan, banyak negara saat ini mendorong masyarakat dan LSM untuk terlibat dalam industri ini. Hal ini mendorong lahirnya lembaga seperti The Lebanese Rocket Society, tim-tim relawan yang dibentuk Tunisan Space Agency (TSA), Buraq Society di Pakistan, Mars One, Mars Society, Space Tourism Society-Malaysia Chapter (STS-MC) dan lain-lain.
Di Indonesia, liberalisasi industri antariksa sudah dimulai diterapkan sejak Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan) berhasil mendorong terbentuknya Undang-Undang Tentang Keantariksaan No. 21 Tahun 2013.
"Saat ini, Lapan menjadi regulator dalam pelaksanaan seluruh kegiatan keantariksaan nasional. Selain melaksanakan tugas penelitian dan pengembangan di bidang kedirgantaraan, Lapan juga menjadi lembaga pemberi izin terhadap kegiatan keantariksaan," jelas Kepala Lapan, Bambang S. Tejasukmana sebagaimana dituliskan dalam situs lapan.go.id.
Diharapkan setelah peraturan turunanya selesai digodok, bangsa Indonesia akan dapat ikut serta menikmati pasar industri antariksa yang terus berkembang.
Sumber: Jurnas
No comments:
Post a Comment