Tobapos -- Oleh: Julkifli Marbun (*)
Pemilihan Kepada Daerah Serentak di Indonesia (Pilkada) 2017 akan menjadi ajang bertempur para pemilik media-media startup (pemula) untuk eksis dan unjuk gigi.
Bila mereka bisa survive, mereka akan terus eksis pasca pilkada, bila tidak maka akan mati bergitu saja.
Tulisan ini, terinspirasi dari perang media dalam isu baru-baru ini meledak, khususnya ketika salah satu peserta Pilkada di Jakarta mulai melemparkan kontroversi SARA, yang menjadi santapan lezat bagi media.
Bila dapat disimpulkan sekilas, perang itu terjadi antar media-media yang baru berdiri atau baru tumbuh.
Marilah kita sempitkan pembahasan ini kepada pembahasan media independen yang tak dimiliki oleh timses atau parpol pendukung. Bukan juga media yang memang sengaja dibuat oleh anggota timses resmi maupun bayangan yang memang akan sengaja dimatikan atau ditutup usai pilkada.
Media-media startup ini, yang seringkali diplesetkan sebagai media 'abal-abal', karena belum eksis dan punya nama/pamor, seringkali tak beridiologi, sebagaimana para pemilik media besar pada umumnya.
Beberapa isu yang sering diangkat oleh media ini, untuk menggenjot peringkat (alexa, google dan lain-lain) adalah dengan memainkan isu-isu berikut:
1. Polemik Agama
2. Polemik isu domestik alias perselisihan antara suami dan istri, termasuk isu selingkuh, menumbuhkan kecurigaan antar pasangan, poligami dan lain-lain).
3. Tren artis dan budaya pop seperti Korea dan Jepang.
4. Isu Pilkada yang kadang berhubungan dengan SARA, diskriminasi, posisi terzalimi dan lain-lain.
Dari empat isu di atas ada benang merah yang dapat ditarik, yakni masalah agama.
Dalam konteks Indonesia, yang mayoritas Muslim, maka isu kontemporer mengenai keislaman akan menjadi isu sentral.
Secara umum isu ini dapat dibagi menjadi:
1. Pertentangan antar mazhab.
2. Pendirian rumah ibadah.
3. Fitnah atau politik ideologi, di mana masing-masing saling menuduh yang lain ingin mengubah Pancasila.
4. Faktor asing dalam agama.
Dalam persoalan polemik antar mazhab, isu ini begitu sangat deras dilempar ke publik, sehingga siapa saja bisa saja melek dan mengetahui apa-apa saja yang diperlukan dalam menciptakan polemik.
Sehingga, patut diduga bila ada sebuah media mengaku aswaja, atau sunni atau syiah, Islam, kristen, liberal dan lain-lain, bisa saja dapat dimaknai bahwa media tersebut hanya ingin mengangkat isu tertentu, tapi bukan berarti pemilik medianya adalah golongan yang bersangkutan.
Di tempat lain, bisa saja dia juga memiliki media dengan aliran sebaliknya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin jawabannya adalah karena tuntutan media saat ini, khususnya berhubungan dengan eksistensi; bukan pada ideologi tapi seberapa tinggi peringkat dan pembacanya a.k.a: profit.
Selain itu, munculnya para penulis kreatif (creative writing/writer) muda yang mulai menyaingi kemapanan jurnalis (kuli pena) atau blogger sekalipun.
Para creative writers (sering diplesetkan menjadi 'tukang karang') mempunyai keahlian dalam membangun imajinasi, memancing klik, membuat pembaca emosi dan galau serta mengundang keingintahuan. Walaupun begitu, seringkali mereka tidak secermat jurnalis dalam memainkan isu, khususnya dalam jangka panjang.
Tapi itu bukan masalah, adalah pemilik modal yang menentukan isu mana yang diperkuat (dominan) dan mana yang direncanakan dibuat lemah (kalah).
Patut diingat, mereka bekerja dengan standar etika masing-masing. Tak bagus untuk meremehkan atau menghina profesi mereka. Di beberapa perusahaan masing-masing mempunyai standar gaji yang berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dari yang lain atau sebaliknya.
Baca: Perbedaan Jurnalis dan Creative Writer
Pada pilkada 2017, kompetisi para Creative Witer, Jurnalis dan Blogger akan dimunculkan kembali.
Oleh karena itu, para pembaca dan publik pada khususnya harus dapat memahami akibatnya. Maka tak bijak lagi untuk ikut emosi apalagi melakukan huru-hara, karena kompetisi pena mereka ini.
Apapun itu, persaingan antar mereka hanya persaingan narasi dan itu sudah lazim terjadi dari dahulu kala. Hanya saja, narasi itu semakin banyak dan mudah diakses oleh publik.
Wallahhu A'lam.. Salam Pilkada Damai. (adm)
(*) Alumni India. Insiator/Pendiri dan Co-Founder South Asia Study Center/Indonesia-South Asia Forum (SASC/InSAF).
Adv: Yuk, Belanja Online di POP Shop
Pemilihan Kepada Daerah Serentak di Indonesia (Pilkada) 2017 akan menjadi ajang bertempur para pemilik media-media startup (pemula) untuk eksis dan unjuk gigi.
Bila mereka bisa survive, mereka akan terus eksis pasca pilkada, bila tidak maka akan mati bergitu saja.
Tulisan ini, terinspirasi dari perang media dalam isu baru-baru ini meledak, khususnya ketika salah satu peserta Pilkada di Jakarta mulai melemparkan kontroversi SARA, yang menjadi santapan lezat bagi media.
Bila dapat disimpulkan sekilas, perang itu terjadi antar media-media yang baru berdiri atau baru tumbuh.
Marilah kita sempitkan pembahasan ini kepada pembahasan media independen yang tak dimiliki oleh timses atau parpol pendukung. Bukan juga media yang memang sengaja dibuat oleh anggota timses resmi maupun bayangan yang memang akan sengaja dimatikan atau ditutup usai pilkada.
Media-media startup ini, yang seringkali diplesetkan sebagai media 'abal-abal', karena belum eksis dan punya nama/pamor, seringkali tak beridiologi, sebagaimana para pemilik media besar pada umumnya.
Beberapa isu yang sering diangkat oleh media ini, untuk menggenjot peringkat (alexa, google dan lain-lain) adalah dengan memainkan isu-isu berikut:
1. Polemik Agama
2. Polemik isu domestik alias perselisihan antara suami dan istri, termasuk isu selingkuh, menumbuhkan kecurigaan antar pasangan, poligami dan lain-lain).
3. Tren artis dan budaya pop seperti Korea dan Jepang.
4. Isu Pilkada yang kadang berhubungan dengan SARA, diskriminasi, posisi terzalimi dan lain-lain.
Dari empat isu di atas ada benang merah yang dapat ditarik, yakni masalah agama.
Dalam konteks Indonesia, yang mayoritas Muslim, maka isu kontemporer mengenai keislaman akan menjadi isu sentral.
Secara umum isu ini dapat dibagi menjadi:
1. Pertentangan antar mazhab.
2. Pendirian rumah ibadah.
3. Fitnah atau politik ideologi, di mana masing-masing saling menuduh yang lain ingin mengubah Pancasila.
4. Faktor asing dalam agama.
Dalam persoalan polemik antar mazhab, isu ini begitu sangat deras dilempar ke publik, sehingga siapa saja bisa saja melek dan mengetahui apa-apa saja yang diperlukan dalam menciptakan polemik.
Sehingga, patut diduga bila ada sebuah media mengaku aswaja, atau sunni atau syiah, Islam, kristen, liberal dan lain-lain, bisa saja dapat dimaknai bahwa media tersebut hanya ingin mengangkat isu tertentu, tapi bukan berarti pemilik medianya adalah golongan yang bersangkutan.
Di tempat lain, bisa saja dia juga memiliki media dengan aliran sebaliknya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin jawabannya adalah karena tuntutan media saat ini, khususnya berhubungan dengan eksistensi; bukan pada ideologi tapi seberapa tinggi peringkat dan pembacanya a.k.a: profit.
Selain itu, munculnya para penulis kreatif (creative writing/writer) muda yang mulai menyaingi kemapanan jurnalis (kuli pena) atau blogger sekalipun.
Para creative writers (sering diplesetkan menjadi 'tukang karang') mempunyai keahlian dalam membangun imajinasi, memancing klik, membuat pembaca emosi dan galau serta mengundang keingintahuan. Walaupun begitu, seringkali mereka tidak secermat jurnalis dalam memainkan isu, khususnya dalam jangka panjang.
Tapi itu bukan masalah, adalah pemilik modal yang menentukan isu mana yang diperkuat (dominan) dan mana yang direncanakan dibuat lemah (kalah).
Patut diingat, mereka bekerja dengan standar etika masing-masing. Tak bagus untuk meremehkan atau menghina profesi mereka. Di beberapa perusahaan masing-masing mempunyai standar gaji yang berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dari yang lain atau sebaliknya.
Baca: Perbedaan Jurnalis dan Creative Writer
Pada pilkada 2017, kompetisi para Creative Witer, Jurnalis dan Blogger akan dimunculkan kembali.
Oleh karena itu, para pembaca dan publik pada khususnya harus dapat memahami akibatnya. Maka tak bijak lagi untuk ikut emosi apalagi melakukan huru-hara, karena kompetisi pena mereka ini.
Apapun itu, persaingan antar mereka hanya persaingan narasi dan itu sudah lazim terjadi dari dahulu kala. Hanya saja, narasi itu semakin banyak dan mudah diakses oleh publik.
Wallahhu A'lam.. Salam Pilkada Damai. (adm)
(*) Alumni India. Insiator/Pendiri dan Co-Founder South Asia Study Center/Indonesia-South Asia Forum (SASC/InSAF).
Adv: Yuk, Belanja Online di POP Shop
No comments:
Post a Comment