Tobapos -- Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak masih merupakan masalah besar di Indonesia. Menurut Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dilaporkan terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 secara nasional (Komnas Perempuan, 2016). Dan setiap satu menit terjadi kekerasan terhadap 5 perempuan Sedangkan menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa 35 persen perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya (UN Women, 2016).
Salah satu bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan anak. Menurut data Badan PBB untuk Anak (UNICEF) sekitar 17 persen perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF, 2015). Saat ini Indonesia berada di urutan 37 dari 73 negara pada kasus kawin pertama dalam usia muda serta menempati peringkat tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja (Data World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Data tersebut menunjukkan bahwa rentannya kehidupan perempuan saat ini, karena kekerasan itu bisa terjadi dimana saja dan siapapun bisa menjadi korban dan siapapun bisa menjadi pelaku.
Berbagai alasan praktik perkawinan anak tetap terjadi karena pertama: kepercayaan dan budaya yang menyatakan bahwa perempuan sudah layak menikah ketika sudah mengalami menstruasi; kedua yaitu alasan ekonomi yang menempatkan perempuan sebagai beban tambahan bagi keluarga, sehingga dengan dikawinkan maka akan mengurangi beban ekonomi keluarga; dan ketiga yaitu kerangka hukum yang menyatakan bahwa perempuan dapat menikah secara legal di bawah usia 16 tahun.
Maka upaya mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta mencegah perkawinan anak menjadi strategi penting dalam upaya Oxfam di Indonesia dan Mitra untuk menciptakan dunia yang adil tanpa kemiskinan. Sejak tahun 2015 Oxfam di Indonesia berpartisipasi dalam kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan.
Tahun 2016 ini kampanye yang dilakukan Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra dalam “Menghapuskan Praktek Perkawinan Anak di Indonesia” secara khusus akan menyasar pada perubahan norma sosial yang melanggengkan praktik-praktik perkawinan anak dengan melibatkan anak-anak muda yang rentan menjadi korban pernikahan anak. Rangkaian kegiatan kampanye Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra meliputi pendidikan untuk kelompok anak-anak muda mengenai KTPA, Hak-hak Anak dan Hak Kesehatan Reproduksi untuk anak-anak di sekolah; lomba membuat meme/poster terkait pernikahan anak; serta Youth Forum : Menolak Perkawinan Anak.
“Praktek perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak adalah mematikan cita-cita anak karena anak pada usia belia harus mengurus kehidupan keluarga,” kata Listyowati, Ketua Kalyanamitra.
Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra menyatakan bahwa (1) Praktek perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak serta melanggar hak perempuan dan hak anak; (2) Menikah dibawah usia 18 tahun menghancurkan ketahanan keluarga dan (3) mengatasi perkawinan anak merupakan bagian dari Implementasi Sustainable Development Goals yaitu Goals kelima yaitu tentang Kesetaraan Gender. (adm)
Adv: Yuk, Belanja Online di POP Shop
Salah satu bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan anak. Menurut data Badan PBB untuk Anak (UNICEF) sekitar 17 persen perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF, 2015). Saat ini Indonesia berada di urutan 37 dari 73 negara pada kasus kawin pertama dalam usia muda serta menempati peringkat tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja (Data World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Data tersebut menunjukkan bahwa rentannya kehidupan perempuan saat ini, karena kekerasan itu bisa terjadi dimana saja dan siapapun bisa menjadi korban dan siapapun bisa menjadi pelaku.
Berbagai alasan praktik perkawinan anak tetap terjadi karena pertama: kepercayaan dan budaya yang menyatakan bahwa perempuan sudah layak menikah ketika sudah mengalami menstruasi; kedua yaitu alasan ekonomi yang menempatkan perempuan sebagai beban tambahan bagi keluarga, sehingga dengan dikawinkan maka akan mengurangi beban ekonomi keluarga; dan ketiga yaitu kerangka hukum yang menyatakan bahwa perempuan dapat menikah secara legal di bawah usia 16 tahun.
Maka upaya mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta mencegah perkawinan anak menjadi strategi penting dalam upaya Oxfam di Indonesia dan Mitra untuk menciptakan dunia yang adil tanpa kemiskinan. Sejak tahun 2015 Oxfam di Indonesia berpartisipasi dalam kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan.
Tahun 2016 ini kampanye yang dilakukan Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra dalam “Menghapuskan Praktek Perkawinan Anak di Indonesia” secara khusus akan menyasar pada perubahan norma sosial yang melanggengkan praktik-praktik perkawinan anak dengan melibatkan anak-anak muda yang rentan menjadi korban pernikahan anak. Rangkaian kegiatan kampanye Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra meliputi pendidikan untuk kelompok anak-anak muda mengenai KTPA, Hak-hak Anak dan Hak Kesehatan Reproduksi untuk anak-anak di sekolah; lomba membuat meme/poster terkait pernikahan anak; serta Youth Forum : Menolak Perkawinan Anak.
“Praktek perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak adalah mematikan cita-cita anak karena anak pada usia belia harus mengurus kehidupan keluarga,” kata Listyowati, Ketua Kalyanamitra.
Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra menyatakan bahwa (1) Praktek perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak serta melanggar hak perempuan dan hak anak; (2) Menikah dibawah usia 18 tahun menghancurkan ketahanan keluarga dan (3) mengatasi perkawinan anak merupakan bagian dari Implementasi Sustainable Development Goals yaitu Goals kelima yaitu tentang Kesetaraan Gender. (adm)
Adv: Yuk, Belanja Online di POP Shop
No comments:
Post a Comment